Semeru
Menjejakkan Kaki di Puncak Tertinggi Jawa
Mendaki
Gunung Semeru adalah impian saya dan teman-teman semasa SMA, lebih 30 tahun
lalu. Saya tidak pernah terbayangkan akan mendaki gunung tertinggi di Jawa
tersebut saat si sulung akan mulai kuliah.
Usai
lebaran, suami mengajak kami semua untuk mendaki gunung Semeru. Ada perasaan
tertantang, penasaran, tapi ujung-ujungnya saya malah takut. Masa usia 45 tahun
mendaki Gunung Semeru setinggi 3.676 mdpl ? hanya saja saya tidak mungkin menolak
dan tinggal di rumah sendiri. Akhirnya saya sambut tantangan itu dengan mulai
latihan usai lebaran. Mulai jalan, naik sepeda statis, renang, naik sepeda,
angkat beban, main basket, yang semuanya masih dalam porsi amatir.
Saya
semakin ketar ketir, tetapi tiket pesawat Bandung – Surabaya dan Surabaya –
Bandung sudah dipesan. Selain itu guide sudah ditentukan. Artinya saya harus
berlatih lebih keras. Tetap saja saya merasa bahwa latihan saya belum memenuhi
porsi ideal pendaki gunung. Alih-alih semakin keras, saya malah merasa tidak
fit.
Hari
terus bergulir, berbagai persiapan dilakukan dengan cermat oleh suami saya. Dia
memikirkan ransel baru untuk saya, pakaian hanoman, hingga celana tracking
menjelang keberangkatan ke Surabaya! Menurut saya tidak ada yang bisa menandingi
kecermatan dia dalam perencanaan perjalanan. Termasuk mempersiapkan kami dengan
tulisan-tulisan para pendaki yang telah berhasil mendaki Puncak Semeru.
Terus
terang semakin saya membaca tulisan-tulisan tersebut, saya semakin cemas.
Mengapa? Karena saya merasa tidak mempersiapkan fisik dengan optimal. Apa boleh
buat, persiapan sekitar dua minggu dengan banyak bolongnya, itulah bekal saya.
Rabu 27 Juli 2016 subuh, petualangan kami dimulai.
Dengan pesawat pukul 06.00 kami menuju Surabaya. Tiba di Surabaya langsung
menggunakan mobil rental yang dikemudikan suami, menuju Malang. Di Kota
tersebut kami mempersiapkan surat keterangan sehat terlebih dahulu di rumah
sakit. Selanjutnya mencari treckking pole
satu lagi untuk melengkapi yang sudah kami miliki. Sebenarnya di Bandung kami
sudah berusaha mencarinya, tetapi tidak berhasil menemukan tongkat yang sesuai
keinginan kami. Jadilah kami mengelilingi berbagai toko perlengkapan mendaki
gunung di Malang. Lumayan sambil mencermati kota peninggalan Belanda tersebut.
Setelah
semua lengkap, kami menuju Kecamatan Tumpang untuk makan siang dan membeli
perbekalan makanan. Kebetulan kami bisa menikmati salah satu makanan khas
kawasan tersebut, soto ayam kampung. Usai mengisi perut, kami langsung menuju
Ranu Pane. Desa terakhir menuju Gunung Semeru. Umumnya para pendaki gunung akan
menggunakan jeep di Pasar Tumpang menuju base camp Ranu Pane.
Jalan
sempit menanjak dan berliku dengan kiri kanan jurang, itulah medan menuju desa
terakhir tadi. Di perjalanan kami berpapasan dengan kendaraan bak terbuka
maupun mini bus yang sedang mengangkut jemaah pengajian, selain itu kami
bertemu dengan jeep yang mengangkut para pendaki. Lumayan membuat jantung
berdebar.
Tiba
di Desa Ranu Pane kami orientasi medan untuk mencari penginapan dan pos pendaki.
Cuaca dingin sudah terasa. Kami memutuskan untuk shalat di masjid terlebih
dahulu, dilanjutkan dengan menentukan penginapan. Kami menginap di Penginapan
Marcel yang terbilang baru dan cukup nyaman dengan fasilitas kamar mandi di
dalam dengan air panas.
Usai
makan malam, kami mendatangi pos pendakian untuk bertemu dengan guide kami Deni
Bolang. Banyak pendaki yang turun gunung. Wajah ceria tercermin dalam ekspresi
mereka, kebanggaan akan keberhasilan mencapai puncak memupus kelelahan mereka.
Bagi saya situasi tersebut membuat iri dan cemas. Mungkinkah saya berhasil
mendaki ?
Setelah
mempersiapkan perlengkapan untuk esok hari, kami tidur dengan baju hangat
karena cuaca mencapai 14 derajat. Perasaan ragu untuk perjalanan besok masih
menyergap pikiran saya. Walaupun begitu, saya tidur cukup nyenyak.
Kamis, 28 Juli 2016 pagi, kami sarapan nasi goreng
dengan nikmatnya untuk modal energi melakukan perjalanan hari ini. Setiba di
pos penjagaan kami bertemu dengan guide kami Mas Deni dan Mas Anto, serta porter
kami Pak Tulin. Mas Deni dan mas Anto yang usianya 20 tahun di bawah saya,
dengan pengalaman mendaki Gunung Semeru yang sudah tak terhitung itu, akan
membantu kami menggapai puncak gunung.
Di Pos Pendakian Menjelang Berangkat |
Kami
tidak mengikuti briefing karena
melakukan pendakian dengan guide yang sudah memahami jalur dan aturan pendakian
Gunung Semeru. Pukul 8.30, kami mulai melangkahkan kaki, diawali dengan doa
bersama dan tos untuk mendaki Semeru. Perjalanan melewati kebun penduduk,
kemudian tiba di gerbang selamat datang bagi para pendaki gunung. Kami
menyempatkan untuk berfoto di bawah gerbang tersebut. Perasaan saya masih belum
percaya diri. Ah, ini baru sebuah awal dari perjalanan panjang kami.
Benar
saja, ketika kami mulai melangkah dengan jalur memotong, nafas saya
terengah-engah mengikuti langkah kaki menapaki jalan menanjak. Saya merasa
malu, kok bisa ya dengan fisik seperti ini saya bermimpi mendaki puncak Jawa.
Saya berusaha untuk lebih tenang, berusaha yakin bahwa saya pasti bisa.
Saya
nggak liat kiri kanan atau memandang ke depan. Saya takut kehabisan nafas. Saya
melihat jalan setapak yang menanjak terus. Tak terasa kami tiba di Pos I, rehat
sebentar dengan seteguk air putih. Memandangi sekeliling dan berfoto. Ransel
dikenakan kembali, kami melanjutkan perjalanan.
Pos
II dengan penjual semangka menjadi tempat yang membahagiakan. Kami menikmati
suasana di Pos II, dengan berbincang dengan penjual maupun memandangi jejeran
cemara yang memenuhi lembah. Jalan setapak yang kami lalui tetap menanjak,
nafas saya tetap terengah-engah. Saya berusaha menjaga semangat, pasti ada
ujungnya.
Sejam
berlalu, kami tiba di Pos III. Kembali menikmati menu yang sama, gorengan dan
semangka. Di hadapan kami telah menghadang jalan mendaki, sangat mendaki kalau
menurut saya. Saya menguatkan hati, kamu pasti bisa. Atur nafasmu, rasanya
seperti anak kecil, tetapi itu yang ada dalam pemikiran saya.
Di
sela-sela perjalanan, sesekali kami berhenti untuk minum. Sekar dan Arga
mengikuti Mas Deni di depan, sedangkan saya dan suami berada di bagian belakang
dengan mas Anto sebagai penyapu. Atau lebih tepatnya mengikuti irama jalan
saya. Perjalanan menanjak itu mulai berakhir saat Mas Anto bilang bahwa Ranu
Kumbolo sudah akan terlihat, sebentar lagi. Hadeuh,
judulnya menghibur kali. Eh, mereka tidak bohong ternyata. Kami mulai memandang
keindahan danau dari atas. Perasaan lelah setelah perjalanan mendaki tadi,
sirna sudah. Saya mulai minta difoto. He, he... ibu-ibu lebih narsis daripada
anak remaja ternyata, mungkin itu gumaman guide
kami.
Menjelang Ranu Kumbolo |
Di
titik kami mulai memandang Ranu Kumbolo, berikutnya jalan menurun. Sekar dan
Arga berjalan semakin cepat. Saya tidak mau kalah mengikuti irama mereka. Kami
melewati pos IV dengan sesekali berhenti untuk mengabadikan pemandangan danau
dari ketinggian. Pemandangannya sangat cantik, selain itu jalannya menurun,
tentu saja membuat saya tersenyum.
Jalan Menurun Menuju Rono Kumbolo |
Pukul
11.40 setelah melangkah sekitar 3 jam 10 menit kami tiba di tepian Ranu Kumbolo
yang indah. Saya teringat ucapan anak muda yang sudah turun gunung, “Pokoknya
setelah melihat Ranu Kumbolo, hilang capenya. Pemandangannya bagus banget.”
Rupanya perasaan yang sama yang saya alami. Sudah lupa kalau ketika melangkah,
nafas saya seperti akan putus.
Di Tepi Ranu Kumbolo |
Kami
bergantian difoto di atas batang kayu yang terendam air danau. Alhamdulillah
saya bisa melihat keagungan Tuhan di Ranu Kumbolo. Perasaan bahagia
menghangatkan hati dan menguatkan jiwa saya untuk terus melangkah.
Foto di atas batang pohon |
Makan
siang dan shalat dhuhur dilakukan di Ranu Kumbolo. Menyentuh air danau yang
bening dan sejuk menyegarkan. Makan dengan menu nasi, ayam goreng, telur asin,
dan abon menjadi sangat istimewa, ditambah dengan teh hangat. Betul-betul makan
siang yang berbeda ditambah keriuhan para pendaki yang membongkar tenda untuk
pulang menuju Ranu Pane atau melanjutkan perjalanan ke puncak. Ranu Kumbolo
menjadi titik istirahat yang indah bagi para pendaki Gunung Semeru.
Tanjakan Cinta menjadi tantangan pertama kami.
Dalam film “5 cm” kami bisa menyaksikan medan tersebut. Saya bertekad untuk
tidak mengeluh! Saya mencoba menikmati tanjakan tersebut dengan nafas yang
sebisa mungkin saya atur. Bila dalam film dinyatakan jangan menengok ke belakang,
saya nengok karena dipanggil suami. He, he...
Perjuangan di Tanjakan Cinta |
Tuntaslah
Tanjakan Cinta, kejutan alam sudah
menanti. Oro-oro Ombo merupakan hamparan padang nan luas dengan bunga verbena
berwarna ungu begitu cantik terhampar. Para pendaki sering menyebutnya sebagai
bunga lavender. Sabana tersebut dilingkungi oleh perbukitan yang teramat indah
dengan langit biru. Mengabadikan keindahan padang verbena tersebut. Saya
betul-betul terkesan dengan perjalanan ini. Layaknya hidup, senantiasa memiliki
irama naik turun. Seandainya kita meyakini, maka semua perjuangan akan berakhir
dengan kebahagiaan. Tanjakan Cinta
mengantarkan pada padang verbena yang mengesankan.
Oro-oro Ombo dengan Padang Verbena |
Melintasi
Oro-oro Ombo, kami memasuki Cemoro Kandang di ketinggian 2500 mdpl.
Lagi-lagi suguhan gorengan dan semangka menjadi pelepas dahaga kami. Istirahat
sejenak, kami selanjutnya menempuh perjalanan mendaki yang panjang di antara
pepohonan cemara. Nafas kembali terengah-engah, sesekali kami berhenti untuk
minum. Target kami selanjutnya adalah Pos Jambangan yang berada di puncak
tanjakan. Pos Cemoro Sewu menuju Jambangan mengitari bukit, dan berakhir di
puncak dengan ketinggian 2.600 mdpl. Perjalanan tersebut cukup membuat mental
melemah, karena tanjakan panjang tadi.
Istirahat di Rute Cemoro Kandang |
Di
ujung tanjakan jalan kemudian mendatar. Kami melihat para pendaki dari Kalimati
beristirahat di Jambangan. Warung dengan menu utama yang sama menjadi sasaran
pendaki dari kalimati yang jalannya mendaki. Senangnya hati saya, karena
artinya jalan kami berikutnya menuju Kalimati berupa turunan. Berjalan dengan
cepat bahkan cenderung setengah berlari, itu yang kami lakukan. Semangat
sekali, sembari terbersit pula perjalanan pulangnya nanti. Tak perlu dipikirkan
dulu, yang penting kami tiba di base camp Kalimati, begitu gumam saya dalam
hati.
Pos
Kalimati di ketinggian 2700 mdpl kami capai sekitar pukul empat petang. Berfoto
terlebih dahulu di Papan penanda ketinggian, selanjutnya dengan riang gembira
saya melangkahkan kaki ke areal perkemahan, dimana Pak Tulin poter kami sudah
mendirikan tenda untuk tempat beristirahat. Oh, sungguh bahagia bisa tiba di
kalimati pada saat matahari masih bersinar. Walaupun kami tidak dapat melihat
Puncak Semeru dengan jelas karena tertutup kabut.
Base Camp Kalimati |
Kami
sangat menikmati pemandangan alam di base
camp Kalimati. Tenda kami diletakkan persis di jalan masuk menuju puncak.
Setelah makan malam yang disiapkan oleh guide
berupa ayam goreng, sayur sop, dan kerupuk, kami mengatur tenda serta ransel
untuk keperluan “summit attack”. Pada saat tidur, kami sudah menggunakan
pakaian untuk keesokan hari menuju puncak. Kami berusaha tidur sesegera mungkin
agar fisik kami lebih bugar.
Sejak
pukul 23.00 beberapa kelompok pendaki telah memulai pendakian ke puncak,
sehingga kami terbangun. Selain itu Sekar merasa pusing dan saya sendiri merasa
sesak nafas, setelah minum obat, kami berusaha tidur kembali.
Jumat, 29 Juli 2016, pukul 00.30 kami sudah bersiap
untuk melakukan “summit attack”. Guide menyiapkan teh manis dan roti coklat
sebagai pengisi perut. Perasaan saya sangat tegang, mungkinkah saya berhasil
menggapai puncak. Pertanyaan itu membuat jantung terasa lebih berdebar.
Tepat
pukul 01.00 kami berenam berkumpul membentuk lingkaran kemudian berdoa dan
toss. Sebelumnya Mas Deni menyebutkan bahwa kami akan terus bersama, seandainya
salah satu tidak kuat, kami akan turun bersama. Saya masih tetap bimbang, tapi
saya berjanji akan berusaha keras supaya tidak merugikan secara tim.
Langkah-langkah
awal membuat nafas terengah-engah. Medan yang menanjak dan harus melewati
akar-akar pohon betul-betul menguras tenaga dan mental saya. Saya hampir
menangis karena merasa tidak kuat dan menyesal memaksakan diri untuk mendaki.
Hanya saja semua keluhan masih di dalam hati. Saat saya masih berpikir lanjut
atau tidak, ternyata jalan menjadi lebih bersahabat. Bukan berarti menurun,
tetapi mendaki dengan melewati punggungan. Di kejauhan saya melihat seperti ada
cahaya api unggun. Oh, mungkin sedikit lagi ada tempat beristirahat, gumam
saya. Ternyata yang saya lihat itu adalah bulan sabit cantik yang menemani
perjalanan kami malam itu.
Batas
vegetasi berakhir, kami memasuki kawasan pasir yang mudah melorot. Istilahnya
naik selangkah, turun dua sampai tiga langkah. Dengan bantuan dua buah tongkat,
sangat membantu memperlancar perjalanan kami, selain itu menggunakan guiter
menghalangi pasir masuk ke dalam sepatu.
Medan
pasir adalah medan terberat. Semua pendaki terlihat berusaha melangkah sedikit
demi sedikit. Sebelum jalan, Mas Deni guide kami memberikan trik untuk mendaki
di medan pasir. Masukkan ujung sepatu secara tegak lurus ke dalam pasir,
sehingga kita dapat melangkah tanpa merosot terlalu jauh. Ketika tenaga masih
ada, saya sanggup melangkah disiplin dengan teknik tersebut. Saya berjalan
dengan kepala menunduk, menatap langkah kaki, melihat jejak kaki pendaki
sebelumnya.
Awalnya
kami berenam beriringan, tetapi karena langkah saya melambat, rombongan terbagi
dua; Mas Deni, Sekar, dan Arga, selanjutnya kelompok saya, suami, dan Mas Anto
guide kami. Di antara dua kelompok kemudian masuk pendaki lainnya, karena
pendaki tersebut melangkah seenaknya, saya kena debu pasir. Saya berinisiatif
mencari jalan lain, kemudian mas Anto membantu mengarahkan jalan. Di perjalanan
saya mencermati banyak perempuan muda yang usianya dua puluh tahunan, lebih
parah dari saya. Seorang pendaki putri mengalami kram, beberapa pendaki putri
lainnya dibantu naik oleh pendaki putra. Saya merasa lebih tabah dengan terus
berjalan dengan bantuan dua tongkat. Sebelumnya mas Anto menawarkan saya
ditarik, tapi saya masih ingin berusaha sendiri.
Kami
berhenti beberapa kali di medan pasir yang sulit mencari tempat beristirahat.
Sunrise kami nikmati terlebih dahulu. Merekam gambar dan menikmati roti serta
air putih. Setelah matahari bersinar, kedua guide menyebutkan bahwa bendera
merah putih sudah terlihat. Semangat semakin berkobar, tetapi langkah kaki
tidak bisa dipercepat. Saya menyabarkan diri, pasti sampai tekad saya dalam
hati. Langkah semakin mendekatkan pada bendera, tetapi ternyata kami masih
harus mendaki terus melewati celah batu. Beberapa pendaki beristirahat di celah
tersebut.
Pukul
6:45 tibalah saya dan suami di puncak. Anak-anak lebih dahulu tiba di puncak.
Rasa syukur kami ungkapkan. Angin puncak yang kencang menyambut kami. Perasaan
haru menyeruak perasaan kami. Alhamdulillah, tekad kami menggapai Mahameru
dapat memperkuat fisik kami.
Di Puncak Mahameru |
Sejauh
mata memandang kami dapat melihat pegunungan sekitar Mahameru, kami melihat
pula Kalimati base camp, bahkan kami melihat perbatasan dataran dengan pantai.
Di sisi lain kawah Semeru bergemuruh. Semua rasa lelah dan perjuangan mental
seperti terbayarkan dengan melihat keindahan alam, menyaksikan kemegahan
Ciptaannya. Saya dan Arga menangis haru, betapa karunia Alloh juga yang
mengantarkan kami tiba di Puncak Tertinggi Pulau Jawa.
Setelah
minum air hangat dan makanan ringan, kami bersiap untuk turun. Terdapat aturan
ketat bagi mereka yang mendaki Mahameru, yaitu harus turun sebelum pukul 11.00
karena semburan dari kawah yang beracun akan berubah arah ke jalan para
pendaki. Perjalanan turun jauh lebih cepat karena kami meluncur seakan main ski
pasir. Dalam waktu 1 jam kami telah tiba di batas vegetasi. Beristirahat
kembali sambil melepas jaket tebal, kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan
semangat. Melewati hutan pinus, pohon edelweis, hingga akhirnya kami tiba pukul
11.00 di Kalimati.
Perjalanan Turun Menuju Kalimati |
Istirahat Sejenak Menjelang Kalimati |
Rupanya
pedagang gorengan sudah siap menyambut para pendaki. Kami mencoba pisang goreng
yang dihargai Rp 2500. Guide kami langsung memasak menyiapkan makan siang
berupa sayur sop santan, telur puyuh, dan ayam goreng. Waah, makanan istimewa
rasanya sepanjang saya pergi mendaki gunung. Rasa yang lezat membuat kami
menikmati hidangan siang tersebut.
Usai
makan kami langsung packing karena perjalanan akan dilanjutkan ke Ranu Kumbolo.
Setelah semua barang masuk dengan rapih ke dalam ransel, kami kembali
beristirahat. Pada saat kami beristirahat, beberapa rombongan tiba dan mulai
memasang tenda. Terdapat rombongan pelajar asing di antara rombongan tersebut.
Pukul 14.00 kami mulai berjalan menuju Ranu
Kumbolo. Jalan menanjak hingga pos Jambangan itu tantangan awal perjalanan. Di
belakang kami Mahameru menjulang dengan
gagahnya. Saya terpana melihat rute perjalanan kami dari dinihari hingga pagi.
Sungguh ekstrim, sekali lagi saya bersyukur semua itu dapat kami lewati dengan selamat.
Di
pos Jambangan kami kembali menikmati semangka, kemudian berfoto dan menyapa
para pendaki yang akan menuju Kalimati maupun yang akan menuju Ranu Kumbolo
seperti kami. Sepanjang perjalanan kami bertemu puluhan pendaki yang sedang
berjuang menaklukan rute Cemoro Kandang yang menanjak. Terasa kontras dengan
kami yang telah melampaui perjuangan tersebut, dan melewati perjalanan semi
berlari.
Pos Jambangan dengan Latar Belakang Letupan Semeru |
Pos
Cemoro Kandang menjadi tempat kami menikmati semangka dan gorengan kembali.
Oro-oro Ombo tujuan selanjutnya, tetapi kami melewati rute di bagian atas
padang verbena. Iring-iringan dari beberapa kelompok pendaki membuat
kebersamaan dalam perjalanan. Kelompok-kelompok anak muda tersebut kemudian
tertinggal karena mereka memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu. Kami
melangkah terus menuju Tanjakan Cinta atau turunan Cinta untuk saat itu,
sebelum kami menjejakkan kaki di Ranu Kumbolo kembali.
Melintasi Oro-oro Ombo Menuju Ranu Kumbolo |
Sore
yang indah dengan cuaca yang cerah menyambut kedatangan kami. Pukul 16.00 kami
telah menjejakkan kaki di ranu Kumbolo. Tenda telah terpasang karena Pa Tulin
poter kami tiba lebih dahulu. Dalam perjalanan melewati Tanjakan Cinta kami
berfoto, demikian pula ketika tiba di tepian Ranu Kumbolo. Seakan berada di
surga yang indah dengan pemandangan alam yang memukau. Sekar asyik mengambil
gambar, saya memandangi alam, papa membersihkan badan dengan air danau,
sedangkan Arga menikmati keindahan danau dari dalam tenda.
Petang di Ranu Kumbolo |
Makan
malam berupa mie goreng dan dadar telur yang lezat langsung kami nikmati. Untuk
menghemat tenaga, kami memilih langsung beristirahat dengan menggunakan pakaian
hangat untuk membentengi tubuh dari udara dingin Ranu Kumbolo. Keriuhan para
pendaki terus berlanjut hingga langit telah gelap, mereka mendirikan tenda dan
juga memasak. Tidur kami sesekali terjaga mendengar kesibukan pendaki yang baru
tiba. Ketika pagi, kawasan ranu Kumbolo telah dipenuhi tenda warna-warni.
Sabtu, 30 Juli 2016, subuh kami sudah terjaga karena
khawatir tertinggal sunrise. Sekar
kembali sibuk mengambil gambar. Steamboat
(kuah dengan isi olahan isi baso, sosis, tahu, dsb) menjadi penghangat
tubuh di pagi hari. Sarapan dilanjutkan dengan mie goreng serta kerupuk lezat
buatan guide kami. Setelah sarapan kami packing
ransel. Perjalanan pulang menuju Ranu Pane akan kami mulai pukul 9.30, dengan
melewati rute yang memutar tetapi lebih landai bila dibandingkan dengan rute
pergi.
Fajar Menyingsing di Ranu Kumbolo |
Tenda kami di Ranu Kumbolo |
Selanjutnya
kami memulai tanjakan ke Pos IV, kemudian jalan turun naik antara Pos IV dan
Pos III. Di pos III dan Pos II kami kembali menikmati semangka dan gorengan
khas jalur pendakian Semeru. Bertemu dengan rombongan lain yang menjadi teman
perjalanan turun. Pos III, Pos II, hingga Pos I merupakan jalan turun. Kami
sempat berpisah dengan rombongan tadi karena mereka memilih jalur konvensional
yang pada akhirnya kami lebih cepat 20 menit dibandingkan mereka.
Perjalanan Pulang Bersama Tim Lainnya |
Sepanjang
perjalanan turun kami bertemu dengan puluhan pendaki yang baru memulai
perjalanan mereka. Saya membayangkan bahwa perjuangan mereka baru dimulai,
tetapi kami berusaha memberikan motivasi bagi mereka.
Pukul
12.20 kami tiba di Ranu Pane kembali, artinya kami memerlukan waktu tempuh 3
jam . Lega sekali. Rasa syukur kami ucapkan untuk perjalanan turun yang cepat
dan lancar. Kami mampir di toko suvenir untuk membeli t-shirt Mahameru, stiker,
dan gantungan kunci.
Bertemu
kembali dengan Pa Tulin yang sedang menikmati semangkok baso di pos pendakian. Ia
akan mendaki kembali hingga Ranu Kumbolo malam nanti. Arga dan Sekar berfoto
dengan Pak Tulin. Kami sangat senang memperoleh porter seperti Pa Tulin.
Kami
berpamitan dengan Mas Deni dan Mas Anto. Bersyukur memperoleh guide yang
menyenangkan dan pinter masak seperti mereka. Mereka bersiap untuk menjadi
guide rombongan mahasiswa Malaysia menuju Puncak Rinjani. Hmm, mungkin kami pun
ingin mendaki Gunung Rinjani.
Sebelum
menuju Tumpang – Malang – Surabaya, kami membersihkan diri di penginapan Marcel
dan menikmati mie rebus dengan telur serta teh dingin. Pegal-pegal mulai
terasa, tapi semua itu tak ada artinya bila kami membayangkan telah menggapai
Puncak Mahameru. Terima kasih Ya Alloh untuk Rahmat yang Engkau berikan kepada
kami sehingga kami berhasil mencapai puncak tertinggi di Jawa.
Bandung, 7 Agustus 2016
Minggu Malam
Siiip trs semangat berpetualang yg mengasyikkan
BalasHapus