Mudik Adventure: “Napak Tilas Majapahit” (2012)
Mudik adalah suatu kewajiban buat kami. Agar kewajiban
ini tetap menjadi suatu yang menyenangkan, kami selalu menyusun perjalanan yang
seru. Dan tentunya, untuk mendukung rencana
kami, kami harus mempersiapkan segala sesuatunya: fisik, informasi perjalanan,
peta, dan GPS.
Untuk
menyiasati agar tidak terjebak kemacetan rutin lebaran, kami selalu berangkat
lebih awal dan balik lagi ke Bandung lebih awal. Konsekuensinya, kami harus
jalan-jalan dalam keadaan puasa. Tetapi Alhamdulillah, kami tidak pernah
mengalami kendala. Bahkan anak-anak, Arga dan Sekar, tidak pernah batal puasanya.
Arga saat ini kelas dua SMP, Sekar kelas lima SD. Mereka sudah puasa penuh
sejak kelas satu SD.
Jalur
Bandung – Solo sudah kami lalui semua, jalur utara – jalur selatan – jalur
tengah, sampai jalur alternatifnya. Mulai tahun kemarin, kami ekspansi ke Jawa
Timur, jalur pantura Jawa Timur sudah kami lahap. Tahun ini, agendanya adalah
“napak tilas Majapahit”, dari Trowulan, Bromo, hingga Lawu.
Hari Pertama
Senin,
13 Agustus 2012, jam 06.00 berangkat dari rumah kami di Dago Atas menuju Lembang –
Subang – Pamanukan. Lembang – Ciater kabut tebal menghadang, jarak pandang
hanya beberapa puluh meter. Memasuki Jalan Cagak, mulai banyak truk pasir yang
menghambat, disalip satu, di depan ada lagi, dan seterusnya. Untungnya, Subang
– Pamanukan lancar, jalan sudah lebih lebar dan halus.
Sepanjang
Pamanukan hingga tol Kanci, jalan mulus sekali. Lalu lintas juga masih lancar.
Sekitar jam 09.00 masuk Jawa Tengah. Pantura Jawa Tengah dari Brebes hingga
Semarang jalan mulus dan masih lengang. Sampai Grinsing jam 12.00, istirahat
dan shalat dulu. Lanjut lagi, sampai Semarang jam 13.30. Memasuki Semarang,
mulai padat truk, terus banyak truk sampai Demak, Kudus, Pati hingga Rembang.
Alhasil sampai di Rembang sudah jam 16.00. Kemulusan jalur pantura dinodai oleh
seruas jalan yang luar biasa jelek dan keriting antara Pati dan Rembang.
Di
Rembang kami mengunjungi dulu Museum Kartini, tapi ternyata sudah tutup. Dengan
pertimbangan agenda besok pagi, kami putuskan menginap di Rembang, di hotel
baru dekat museum Kartini. Setelah cek in, kami jalan-jalan ke Pantai Kartini
hingga hampir maghrib. Kemudian kami buka puasa di alun-alun Rembang, lesehan
bersama warga Rembang.
Hari Kedua
Selasa
pagi kami berangkat dari Rembang jam 07.00. Cuaca sudah panas. Matahari tepat
di depan mata, silau. Truk sudah banyak.
Dalam
perjalanan ini, kami sudah mulai “neg” melihat truk. Truk – truk – truk,
gede-gede, banyak yang gandengan. Ada yang lambat menghalangi jalan, ada
kenceng nyruduk – nyruduk. Sampai ada yang nyenggol spion kami. Lampu spion
pecah, wehh … untung hanya spion. Tapi tetap ada yang menghibur dalam rute ini
yaitu jalanan mulus di pinggir pantai.
Deretan perahu nelayan di sepanjang perjalanan Rembang – Paciran |
Peta lokasi sisa – sisa pusat kerajaan Majapahit |
Semula
kami targetkan sampai di Trowulan jam 09.00, tetapi ternyata target meleset,
karena jalanan tidak seperti kami duga. Kami tiba di Trowulan jam 11.00. Kami
ke museum Majapahit atau disebut juga museum Trowulan. Dari jalan Surabaya –
Mojokerto belok kiri, masuk sekitar 2 km. Museum Majapahit berdiri di kompleks
kraton atau ibu kota Majapahit.
Meskipun
belum dikelola secara optimal, tapi kami bisa merasakan sisa-sisa kebesaran dan
kemajuan Majapahit saat itu. Teknologi Majapahit barangkali tidak kalah dengan
teknologi kerajaan-kerajaan China semasanya. Tata kota, alat pertanian, alat
rumah tangga, senjata, dsb sudah canggih. Kerajinan tembikar dan logam sudah
seperti saat ini. Bahkan mungkin lebih maju zaman itu. Ukiran-ukirannya,
patung-patungnya sangat-sangat mirip ukiran dan patung Bali. Karena memang
orang Majapahit hijrah ke Bali pasca keruntuhan Majapahit.
Dari
Trowulan kami menuju Bromo. Ada dua pilihan base-camp, Ngadisari/Probolinggo
dan Tosari/Pasuruan. Kami pilih Tosari, karena lebih dekat dari arah Trowulan,
dan juga besok kami mau ke Malang setelah dari Bromo. Selain itu, Tosari
khususnya Wonokitri adalah desanya orang Tengger, yaitu orang-orang keturunan Majapahit.
Jadi kira-kira arah hijrahnya sama dengan perjalanan kami siang tadi. Di
Wonokitri semua beragama Hindu. Suasananya mirip sekali di Bali. Apalagi malam
ini ada acara persiapan ngaben. Ada acara di balai desa, meriah, sampai tengah
malam. Ada juga kirab keliling kampung.
Kami
sengaja tidak tinggal di hotel, supaya lebih terasa di Bromo. Kalau hotel
mungkin standar di mana pun kira-kira sama. Tapi ternyata tinggal di rumah penduduk
juga sangat nyaman, lebih terasa “homy”. Kebetulan satu rumah kami pakai sendiri,
ada ruang tamu, meja makan, kamar 2 (tapi kami pakai hanya 1), garasi di
samping kamar.
Hari Ketiga
Rabu,
jam 03.00, kami makan sahur. Sopir jeep juga sudah siap. Sesuai rencana, jam
03.30, kami berangkat. Tujuan pertama adalah Penanjakan, tempat melihat
sunrise.
Ternyata
kami bukan yang pertama, di Penanjakan sudah ada sekitar 15 jeep. Hari ini ada
sekitar 50 jeep. Katanya kalau pas rame bisa sampai 150 jeep. Di sini hanya
jeep yang boleh naik sampai Pananjakan. Mobil pribadi/travel hanya sampai tempat
parkir yang jaraknya sekitar 45 menit dari Pananjakan. Melihat kondisi medan,
memang hanya jeep dengan sopir berpengalaman yang bisa melintasi medan di sini.
Kami
sampai di Pananjakan jam 04.30, sunrise jam 05.30. Di Pananjakan ada semacam
theater untuk melihat sunrise dan komplek Bromo. Ada bangku-bangku panjang dari
kayu, makin lama makin penuh. Sekitar 90%-nya adalah bule. Ada serombongan
cewek bule yang merayakan ulang tahun, bawa kue dan tiup lilin pada saat
matahari terbit.
Dari
Penanjakan semua beralih ke komplek Bromo. Jalan menurun tajam ke kaldera
Bromo. Objek-objek yang dapat dikunjungi di kaldera Bromo adalah savanna,
padang pasir (pasir berbisik), dan kawah Bromo. Pemandangannya sangat
fantastic. Saking indahnya, kalau kita berfoto seperti foto kita hanya tempelan
di pemandangan Bromo.
Jam
10 kami kembali ke base camp. Jam 11 kami meninggalkan Bromo menuju Malang. Di
perjalanan menuju Malang, terdapat candi Singosari, yang dibangun sebelum era
Majapahit.
Di
Malang, kami hanya bersantai di hotel, berenang dan tiduran, besok masih ada
satu etape lagi. Tadinya kami mau ke Tumpang untuk survey pendakian ke Semeru,
tapi sudah kehabisan energi.
Serombongan bule tiup lilin ulang tahun pada saat sunrise di Bromo |
Berpose di Penanjakan dengan latar belakang komplek Bromo |
Hari Keempat
Besoknya,
Kamis, kami berangkat jam 07.00. Rutenya adalah Malang – Batu – Kandangan –
Kediri – Nganjuk – Caruban – Madiun – Magetan – Sarangan – Tawangmangu – Solo.
Hampir
sepanjang rute ini adalah rute wisata, hanya rute Nganjuk – Madiun yang jalur
“biasa”. Malang – Batu – Kediri jalannya bagus dan pemandangannya juga
bagus, di kanan kiri ada deretan gunung-gunung, sungainya lebar dan jernih.
Kali ini kami jalan santai menikmati pemandangan.
Sampai
di Magetan jam 12.00. Jalur Magetan – Sarangan – Tawangmangu – Solo sangat
bagus dan pemandangannya sangat indah. Kami mampir di Cemoro Sewu dan Cemoro
Kandang untuk survey pendakian Lawu. Suasananya sudah jauh berbeda dibanding
tahun 1994, saat saya terakhir mendaki Lawu. Kami berencana mau mendaki Lawu
liburan nanti.
Di
gunung Lawu terdapat banyak peninggalan Brawijaya V, raja Majapahit terakhir.
Puncak Lawu, Hargo Dalem, adalah tempat pertapaan Brawijaya V. Di sekitar Lawu
terdapat banyak candi-candi, di antaranya yang terkenal adalah Candi Sukuh dan
Candi Cetho. Kami sudah mengunjungi kedua candi ini dalam adventure sebelumnya.
Akhirnya
kami sampai di tujuan terakhir, di rumah ibu saya di Solo. Dari Bandung ke Solo
lewat Malang. Sampai jumpa mudik adventure tahun depan.
Komentar
Posting Komentar