Gunung Prau Dieng (2018)

Band of Brothers di Puncak Prau

Barangkali belum semua tahu bahwa ada gunung Perahu lain selain Tangkuban Perahu di Bandung. Ya … ada gunung Prau di Dieng. Dari jauh keduanya mirip, bentuknya seperti perahu yang terbalik. Dan sejarah penciptaannya pun mirip, keduanya adalah sisa-sisa letusan gunung purba. Keduanya juga mempunyai mitos yang kuat, Tangkuban Perahu dengan legenda Sangkuriang-nya, sedangkan Dieng dipercaya merupakan tempat bersemayamnya dewa-dewa.

Gunung Tangkuban Perahu di Bandung Utara

Gunung Prau di Dieng

Gunung Prau yang sedang nge-tren akhir-akhir ini sebetulnya sudah dikunjungi oleh Sir Thomas Stamford Raffles dan ditulis dalam bukunya “The History of Java” yang diterbitkan tahun 1817. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa terdapat 40 candi Hindu di kawasan Dieng.


Tidak salah para dewa memilih Dieng sebagai persemayamannya. Karena di sini tanahnya subur dan bentang alamnya indah. Meskipun menyimpan misteri gas beracun yang dapat sewaktu-waktu mengancam jiwa, karena sesungguhnya tempat ini adalah kaldera gunung api purba.

Gunung Prau merupakan puncak tertinggi di dataran tinggi Dieng, dengan ketinggian puncak utamanya 2590 mdpl dan puncak kedua 2565 mdpl. Gunung Prau dapat didaki dari beberapa arah, karena memang gunung ini menjadi batas wilayah administrasi dari 3 kabupaten, yaitu Wonosobo, Batang, dan Kendal. Ada banyak pilihan basecamp pendakiannya, antara lain: Desa Pranten (Batang), Desa Kenjuran (Kendal), Desa Wates (Temanggung), dan basecamp Patak Banteng, Kalilembu, Dieng Kulon, dan Dwarawati (Dieng).

Di tengah hiruk pikuk urusan lebaran tahun ini, kami menyempatkan untuk mengunjungi keindahan gunung Prau setelah balik dari Solo. Sabtu tanggal 16 Juni 2018 malam, H+1 lebaran, kami sampai di Dieng. Jalur pendakian gunung Prau yang kami pilih adalah via Dieng Kulon, yang merupakan jalur pendakian gunung Prau yang paling populer.

Basecamp Dieng Kulon terletak di dekat tugu atau tulisan “Welcome to Dieng” yang berada di pertigaan jalan utama Dieng. Di sekitar pertigaan ini terdapat banyak penginapan, dari yang ekonomis sampai yang lumayan. Pada musim lebaran, pertigaan ini sangat ramai.

Kami menginap di homestay Srikandi, yang berada sangat dekat dengan jalan masuk ke arah basecamp pendakian gunung Prau. Kami rencananya akan tek-tok, berangkat pagi dini hari besok untuk mengejar sunrise dan langsung turun lagi.

Malam itu kami sudah siapkan segala sesuatunya untuk hiking besok pagi, termasuk di antaranya 4 porsi nasi-ayam goreng. Semuanya sudah di-packing dalam ransel day-pack. Bahkan kami tidur pun sudah dengan pakaian tempur untuk besok pagi.

Hari Minggu, 17 Juni 2018, kami berangkat dari penginapan jam 03.00. Cuaca cerah, langit bersih bertabur bintang, udara segar sejuk sekitar 14 derajat. Dari penginapan sudah terlihat pertigaan masuk ke arah basecamp. Jalan dari penginapan ke basecamp menanjak tajam, melewati SMP dan kuburan. Waktu tempuh dari penginapan ke basecamp sekitar 15 menit, jika jalan terus tanpa istirahat (nanjak).

Basecamp berupa gapura selamat datang, di sebelah kiri ada bangunan untuk petugas basecamp dan bangunan untuk istirahat pendaki, di sebelah kanan ada toilet, tempat parkir motor, dan beberapa toko/warung. Suasana basecamp saat itu sepi, hanya ada satu orang petugas yang sedang tidur di dalam tempat pendaftaran pendaki. Kami coba membuat sedikit kegaduhan, tetapi dia tidak terbangun.

Basecamp gunung Prau dari Dieng

Di basecamp terpajang peta pendakian dan juga kontak personal petugas basecamp. Ada baiknya setiap pendaki memotret info ini, siapa tahu nanti diperlukan jika terjadi situasi darurat atau salah ambil jalur. Terlihat bahwa ada 2 percabangan penting yang harus diperhatikan, karena jalur Dieng ini menyatu dengan jalur Dwarawati sebelum masuk Pos II dan jalur Kalilembu sebelum masuk Pos III, kalau dari bawah.

Peta Pendakian Basecamp Dieng

 Percabangan ini perlu diperhatikan khususnya pada saat turun, di mana kalau keasyikan lari turun bisa-bisa masuk ke jalur lain, jadi keluarnya nanti dari basecamp yang lain. Meskipun jarak antar basecamp tidak terlalu jauh, masih sama-sama di sekitar Dieng.

Setelah istirahat sejenak di basecamp, kami melanjutkan perjalanan. Medan awal berupa jalan tanah dan batu yang relative landai, melewati kebun penduduk. Ada beberapa percabangan, tetapi jelas mana yang jalur pendakian dan mana jalur petani.

Setelah area perkebunan habis, kemudian masuk ke hutan yang didominasi pohon cemara. Peralihan medan ini ditandai dengan gapura. Di medan hutan ini jalur juga masih terlihat dengan sangat jelas, mulai sedikit menanjak, tetapi masih nyaman untuk berjalan.

Pintu Masuk Hutan Jalur Dieng

Sebetulnya kami berjalan sangat santai, diselingi beberapa kali berhenti sebentar untuk minum. Tetapi ternyata jalan kami masih cukup cepat dibanding pendaki pada umumnya. Waktu tempuh kami dari pos ke pos masing-masing sekitar 30 menit. Total waktu tempuh kami dari titik basecamp ke titik puncak 2 jam kurang sedikit. Sementara pendaki lainnya umumnya 3 jam atau lebih.

Pos I Jalur Dieng

Pos I dinamai Gemekan, berupa dataran berukuran sekitar 5x10 meter, terdapat dua buah tempat duduk terbuat dari coran beton. Dari Pos I ke Pos II, jalan terus menanjak, tapi masih enak untuk jalan. Di antara dua pos ini ditemui percabangan dengan jalur dari basecamp Dwarawati dan juga tugu penanda peralihan wilayah administrasi dari Kabupaten Wonosobo ke Kabupaten Batang.

Tidak jauh dari pertigaan tersebut di atas, sampailah di Pos II. Tidak ada apa-apa di Pos II Semendung, kecuali papan penunjuk pos. Dari Pos II ini mulai terlihat lampu tower, yang dari bawah tadi terlihat seperti bintang. Medan dari Pos II ke arah tower menanjak dengan akar-akar pohon sebagai pijakan, yang disebut Bukit Akar Cinta. 

Pos II Jalur Dieng

Setelah melewati Akar Cinta, ada percabangan, yang naik ke arah tower dan yang turun ke arah Pos III. Berikutnya jalan mulai naik turun, tapi tidak ekstrim. Sebelum Pos III, ada percabangan ke bawah arah ke basecamp Kalilembu.

Tower di gunung Prau

Pos III juga hanya berupa tanah datar yang tidak cukup luas, dengan papan penanda yang simpel. Ada tumpukan selang/pipa PE ukuran 2 inch, tidak kebayang gimana cara bawanya ke tempat ini. Pastinya pipa ini untuk menyalurkan air, pertanyaannya adalah dari mana ke mana airnya, dan seberapa besar mata airnya dengan ukuran pipa sebesar itu.

Pos III Jalur Dieng

 Di Pos III ini kami mendengar sayup-sayup adzan subuh (foto di atas diambil saat turun dari puncak). Selanjutnya medan mulai terbuka, pepohonan mulai jarang, dan akhirnya jam 05.15 sampailah kami di puncak gunung Prau.

Semburat merah mulai nampak di ufuk timur, langit cerah berawan, suhu tidak terlalu dingin sekitar 12 derajat. Semakin lama semakin terang, dengan warna kemerahan matahari terbit. Di arah tenggara terlihat puncak Merapi – Merbabu, di arah barat daya tampak jelas gunung Sindoro – Sumbing, dan di timur laut terlihat puncak gunung Slamet di kejauhan.

Puncak Tertinggi 2590 mdpl

 Area puncak gunung Prau berupa punggungan yang mengarah dari utara ke selatan. Jalur pendakian Dieng masuk dari arah utara, sedangkan dari jalur Temanggung masuk dari arah selatan. Puncak tertinggi gunung Prau berada di utara. Jadi jika dari arah Dieng akan langsung sampai ke puncak tertinggi 2590 mdpl.

Di Atas Awan

Puncak tertinggi Prau hanya berupa dataran yang sempit. Terdapat plang penanda puncak yang sangat bagus. Tidak banyak gunung yang mempunyai penanda puncak yang bagus. Di area puncak ini ada tanda dilarang camping. 

Dari puncak menghadap ke selatan terlihat punggungan panjang gunung Prau. Terlihat bukit-bukit yang rapi bersusun-susun, yang disebut Bukit Teletubies, yang terletak di timur Telaga Wurung (telaga yang tidak jadi). 

Bunga Daisy gunung Prau

Telaga Wurung adalah tempat camping di gunung Prau, yang berupa dataran yang luas di bawah puncak tertinggi. Dari puncak ke Telaga Wurung, terhampar padang bunga Daisy yang luas khas gunung Prau.

Di musim pendakian, area camping di gunung Prau bisa penuh, katanya bisa sampai 500-an tenda. Memang tempatnya sangat indah untuk bercamping, dan tidak sulit mencapainya. Namun di hari lebaran ini hanya ada beberapa tenda. Bahkan pada saat kami naik, kami hanya bertemu dengan satu rombongan pendaki dari Jakarta bersama 2 orang guide-nya orang lokal.


Sarapan di Telaga Wurung

Sebetulnya kami masih ingin berlama-lama di puncak gunung Prau, karena suasananya demikian nyaman dan pemandangannya yang sangat indah. Tapi kami masih punya agenda panjang hari itu, karena kami berencana mau langsung ke Bandung setelah turun dari gunung.

Komentar

  1. Baguuus... ijin share ya, Mas Oet! Matur nuwun..

    BalasHapus
  2. Membaca kisah2 pendakian mas utomo ini membuat iri. Kebayang energi mas utomo yang luar biasa besar. Foto-fotonya keren euy. Ada makna punya kebiasaan bersahabat baik dengan alam. Btw, hasil kodak gunung dieng lebih mirip perahu dibandingkan G.TP yak? :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Yogi ...
      Tergantung dari mana dilihatnya juga sih .. Hehe

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gunung Gede Pangrango

Gunung Palasari

Gunung Bukit Tunggul (2019)